Kamis, 19 Mei 2011

EKOSISTEM SUNGAI

jum'at, 19 mei 2011
EKOSISTEM SUNGAI

Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang.

Komunitas yang berada di sungai berbeda dengan danau. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis dari ganggang yang melekat dan tanaman berakar, sehingga dapat mendukung rantai makanan.

Lingkungan perairan sungai terdiri dari komponen abiotik dan biotik (algal flora) yang saling berinteraksi melalui arus energi dan daur hara (nutrien). Bila interaksi keduanya terganggu, maka akan terjadi perubahan atau gangguan yang menyebabkan ekosistem perairan itu menjadi tidak seimbang (Soylu dan Gönülol, 2003). Seperti halnya Sungai Ciliwung yang lahan di sekitar bantaran sungainya telah dimanfaatkan untuk permukiman dan aktivitas lainnya yaitu pertanian, industri, perkantoran dan perdagangan. Kegiatan pada lahan tersebut pada umumnya mengeluarkan limbah dan menghasilkan sampah yang langsung dibuang ke dalam perairan sungai sehingga masuknya sumber-sumber pencemar tersebut menyebabkan penurunan kualitas perairan (Hendrawan dkk., 2004). Buangan tersebut pada umumnya mengandung zat-zat yang bersifat racun yang menyebabkan deoksigenasi, naiknya temperatur, serta meningkatnya padatan tersuspensi, terlarut dan partikulat bahan organik. Masuknya limbah ke dalam perairan akan mengubah kondisi ekologi perairan dan komunitas di dalamnya (Stoddard dkk., 2003; Bledsoe dkk., 2004; Tuvikene dkk., 2005).

...

Salah satu biota alga yaitu fitoplankton merupakan organisme yang mempunyai peranan besar dalam ekosistem perairan dan menjadi produsen primer (Lacerda dkk., 2004). Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya perubahan lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem akibat pencemaran (Oxborough dan Baker, 1997; Ekwu dan Sikoki, 2006). Analisis struktur, kemelimpahan dan model distribusi kemelimpahan fitoplankton juga dapat memberikan gambaran kondisi perairan Sungai Ciliwung (Fachrul, 2003).

Sungai diibaratkan sebagai urat nadi dalam tubuh manusia, sementara air yang mengalir dalam urat nadi tersebut diumpamakan sebagai darah. Tanpa urat nadi, darah tidak mungkin mengirimkan berbagai zat makanan yang dibutuhkan oleh semua bagian tubuh manusia. Demikian juga tanpa sungai atau apabila sungai sudah tercemar maka manusia selain akan kesulitan untuk mendapatkan air yang layak, namun juga akan mahal. Sebagaimana yang sudah diketahui, DeSanto (1978) mengemukakan bahwa sekitar 70% tubuh manusia merupakan air dan setiap harinya manusia membutuhkan sekitar 1,5 L air untuk tetap survive, dan ekosistem daratan secara langsung tergantung pada air sebagai faktor yang menentukan struktur dan fungsi seluruh bioma di bumi. Sementera itu, Odum (1988) mengemukakan bahwa oleh karena air amat penting dan merupakan bagian terbesar dari protoplasma, maka dapatlah dikatakan bahwa semua kehidupan adalah ‘akuatik’.

Sungai tempat air mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan berbagai mahkluk lain yang dilaluinya, merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Meskipun luasan sungai dan jumlah air yang mengalir di dalamnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan luas dan jumlah air yang di laut, namun sungai memiliki peranan penting secara langsung bagi kehidupan manusia dan mahkluk di sekitarnya. Sungai, dalam sejarahnya, telah memberi manfaat besar bagi umat manusia, hingga kini. Selain sebagai sumber air, sungai juga bermanfaat sebagai sarana perhubungan, sumber tenaga (listrik dengan PLTA _Pembangkit Listrik Tenaga Air), serta juga sebagai sumber pangan, karena menyimpan keragaman plasma nutfah.


Kerusakan pada Ekosistem Sungai

Kondisi kualitas air yang terus cenderung menurun, juga disebabkan oleh masih adanya budaya di masyarakat Indonesia yang menganggap sungai dan danau sebagai tempat pembuangan sampah, limbah padat, cair, air limbah lainnya. Sehingga telah merusak lingkungan sungai di beberapa tempat dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

Musim di wilayah Indonesia merupakan faktor alam yang tidak dapat dirubah, namun kita hanya dapat berusaha untuk mengurangi efek yang merugikan. Kemungkinan efek negatif yang berpotensi untuk ditimbulkan oleh perubahan musim yaitu adanya kerusakan sumberdaya air baik pada musim kemarau maupun penghujan. Kondisi yang semakin memburuk karena hal tersebut, dapat dikurangi dengan melakukan suatu kegiatan untuk meningkatkan ketahanan. Dua faktor yang dapat dianggap sebagai pemicu terjadinya kerusakan sumberdaya air yaitu perubahan iklim dan kerusakan hutan.

Perubahan iklim

Karakteristik iklim suatu wilayah akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya air di wilayah tersebut, terutama untuk mengetahui periode kekurangan dan kelebihan pasokan air meteorologis. Unsur iklim yang perlu diperhatikan dalam kajian konservasi sumberdaya air meliputi agihan curah hujan tahunan dan agihan indeks kekeringan.

Disamping itu penyimpangan iklim global maupun regional juga berpengaruh pada rendahnya curah hujan musim kemarau pada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah iklim tropis dengan curah hujan rerata tahunan 2.900 mm/tahun (Suprapto, 2003). Masalah air terutama masalah banjir dan kekeringan merupakan dua hal yang selalu datang sesuai dengan datangnya musim. Hal ini terlihat dengan adanya kejadian kelangkaan atau defisit air pada musim kemarau dan terjadinya surplus air dalam bentuk banjir dan tanah longsor di musim hujan.

Kerusakan hutan

Kerusakan lahan berhutan, yang kerap terjadi di daerah dengan kelerengan curam, berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sungai, yang hulunya ke arah hutan. Ini terjadi karena dalam daur hidro-orologis terdapat suatu rantai perjalanan air: mulai saat hujan hingga bermuara ke laut. Kawasan hutan yang dikategorikan sebagai daerah tangkapan air hujan, merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebab, hutan pada daerah perbukitan dan pergunungan berfungsi sebagai penyimpan cadangan air hujan, sekaligus penyarin yang bekerja secara alami. Proses penyaringan dari berbagai strata vegetasi, disertai kemampuan vegetasi menahan laju erosi lapisan atas tanah, mampu mengurangi gangguan pada ekosistem sungai secara alami pula.

Beberapa bencana seperti erosi, pendangkalan sungai di hilir, penurunan kualitas air sungai serta kepunahan spesies, terjadi karena hutan yang berada di hulu mengalami penggundulan. Jika dilakukan secara besar-besaran, akan mempengaruhi persediaan air tanah pada musim kemarau. Ini terkait dengan fungsi hutan sebagai kantung (penahan) air. Pada daerah yang gradien muka air tanahnya tinggi, daerah itu akan mudah kekurangan air di musim kemarau. Alasannya, permukaan air sungai lebih rendah dari permukaan air tanah.

Akibat penggundulan hutan (deforestasi), selain berdampak pada sungai, secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman. Sebab, kandungan lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan lebih sedikit yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah berkurangnya populasi ikan di sungai.

Beberapa jenis ikan kurang mampu beradaptasi karena terjadi perubahan habitat secara cepat. Perubahan intensitas penetrasi sinar matahari, oksigen, kandungan mineral dan tingkat keasaman (PH), adalah beberapa penyebabnya. Dengan berkurangnya populasi ikan, ini juga berdampak secara luas pada siklus rantai makanan. Populasi satwa, di antaranya, akan ikut berkurang karena kehilangan makanan.

Kerusakan hutan dan lahan pada bagian hulu merupakan penyebab utama terjadinya erosi dan sedimentasi pada alur-alur sungai alam sehingga mengurangi daya serap lahan terhadap air hujan. Hal ini menyebabkan terjadinya banjir tak terkontrol di musim penghujan dan kelangkaan air di musim kemarau. Kekeringan ini disebut sebagai kekeringan hidrologis dengan sistem penanganan yang tidak mudah dan kompleks. Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan Jawa seluas 3.289.131 ha., saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Luas lahan di dalam kawasan hutan yang memerlukan rehabilitasi tercatat 1,714 juta ha (56,7 persen) dari luas seluruh kawsan hutan. Itu terdiri dari atas hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 ha serta hutan produksi tak berpohon seluas 1.147.116 ha. Kondisi ini diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta ha. Total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta ha atau 84,16 persen dari seluruh daratan Pulau Jawa.

Ekologi Restorasi

Ekosistem yang rusak dan terdegradasi merupakan suatu kesempatan bagi ahli dan praktisi biologi untuk menerapkan hasil penelitian dalam upaya pemulihan spesiaes maupun komunitas yang pernah menghuni ekosistem tersebut di masa lalu. Pemulihan ekosistem yang rusak berpotensi besar untuk memperkuat sistem kawasan konservasi yang ada. Pemulihan ekologi (ecological restoration) merupakan praktik perbaikan, yang dapat didefinisikan sebagai proses yang secara sengaja mengubah (keadaan lingkungan) suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah. Tujuan dari proses (restorasi) tersebut adalah mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika dari ekosistem terkait (Society of Ecological Restoration, 1991). Disamping berperan menunjang strategi konservasi, proyek restorasi membuka kesempatan penyususnan kembali komunitas secara utuh, dengan mempertimbangkan fungsi ekosistem terkait (Callaway dkk., 2003).

Ekosistem dapat dirusak oleh bencana alam, misalnya oleh badai atau kebakaran yang disebabkan oleh petir. Namun, melalui proses suksesi alami pada umumnya ekosistem masih dapat memulihkan struktur komunitas asli setempat bahkan dengan komposisi spesies yang serupa dengan asalnya. Bagaimanapun, seringkali kualitas ekosistem yang dirusak oleh kegiatan manusia telah menurun sedemikian rendah sehingga sulit dipulihkan. Pemulihan alami mungkin tertunda hingga beberapa dekade atau bahkan berabad – abad. Pemulihanpun tidak dapat berjalan dengan baik bila penyebabnya masih ada dalam ekosistem.

Habitat baru umumnya dibentuk untuk menggantikan habitat yang telah rusak di tempat lain. Pembentukan habitat baru yang memiliki komposisi spesies dan fungsi ekosistem yang setara dengan lokasi acuan (references sites) seringkali menjadi tujuan utama restorasi (MacDougall dkk., 2004). Terdapat 4 macam pendekatan yang sering digunakan untuk mengembalikan ekosistem dan komunitas hayati (Whisenant, 1999):

1.

Tanpa tindakan (no ction) : restorasi tidak dilakukan mengingat biaya pemulihan yang terlalu mahal, atau mungkin upaya restorasi sebelumnya gagal, ataupun berdasarkan pengalaman diperkirakan ekosistem dapat pulih kembali dengan sendirinya.
2.

Rehabilitasi : ekosistem yang rusak diganti dengan ekosistem yang produktif, baik dengan menggunakan beberapa spesies maupun banyak jenis biota.
3.

Restorasi parsial (sebagian) : yang diperbaili adalah sebagian fungsi ekosistem, dan beberapa spesies asli yang dominan mungkin dapat dikembalikan pula.
4.

Restorasi lengkap : restorasi suatu daerah hingga mencapai struktur dan komposisi spesies semula, maupun berbagai proses ekosistem terkait.


Wilayah lahan basah seperti sungai telah menjadi sasaran upaya restorasi besar – besaran (Zedler, 1996; Rood dkk., 2003). Sungai sering dirusak karena peranan mereka dalam mengendalikan banjir, mempertahankan kualitas air, dan melestarikan komunitas hayati tidak diketahui ataupun kurang dihargai. Lebih dari setengah lahan basah asli di AS telah hilang terutama di wilayah dengan tingkat populasi tinggi seperti kalifornia, yang kehilangan lebih dari 90% lahan basahny (Cairns & Heckman, 1996). Di AS telah dilakukan kebijakan perlindungan lahan basah melalui UU Air Bersih (Clean Water Act) dan kebijakan pemerintah AS untuk tidak menghilangkan lahan basah secara efektif (no net loss of wetlands). Berbagai proyek pembangunan skala besar yang mengakibatkan kerusakan diharuskan mereparasi lahan basah tersebut, dan bila kerusakan yang ditimbulkan tidak dapat dimitigasi (kegiatan membangun lingkungan baru), pihak pengembang atau pengelola diharuskan menciptakan lahan basah baru untuk menggantikan yang telah rusak. Focus dari upaya tersebut biasanya adalah mengkonstruksi hidrologi asli wilayah setempat, dilanjutkan upaya menanam spesies asli setempat. Pengalaman menunjukkan bahwa upaya merestorasi lahan basah seringkali tidak berhasil mengembalikan komposisi spesies maupun karakteristik hidrologi dari wilayah setempat, atau tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam lokasi acuan. Masalahnya, komposisi spesies, pergerakan air, tanah, serta sejarah dari lokasi sulit untuk dikembalikan. Akibatnya, spesies asing seringkali mendominasi lahan basah yang direstorasi. Bagaimanapun, lahan basah yang direstorasi mungkin masih dapat mempertahankan sebagian spesies asli setempat (atau yang mirip spesies setempat), sehingga masih dapat memberikan sebagian manfaat dan fungsi mereka. Pada ekosistem sungai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memperbaiki keanekaragaman hayati adalah menghilangkan seluruh bendungan dan dam serta pengendalian dan pelepasan debet air dari dam (Stanley & Doyle, 2003).

Upaya untuk memulihkan sungai yang mengalami eutrofikasi (pengayaan unsure hara) ditandai dengan buruknya kualitas air, terjadi ledakan algae, menurunnya populasi ikan setempat, dan menipisnya oksigen di lapisan air dalam.upaya dilakukan dengan membangun fasilitas pengolahan limbah. Kuantitas fosfor yang masuk ke sungai dikurangi jumlahnya. Hasilnya kualitas air membaik, dan jumlah ikan predator asli mulai meningkat, dibantu pasokan oleh pemerintah daerah. Ikan predator tersebut berperan sebagai pemangsa ikan yang lebih kecil. Dengan terkendalinya jumlah ikan yang lebih kecil tersebut, maka jumlah zooplankton meningkat dan semakin banyak memangsa alga, sehingga kualitas air dapat meningkat. Dengan demikian, melalui proses pemangsaan sepanjang rantai makanan, ikan predator turut mengendalikan jumlah alga penyebab eutrofikasi.


0 komentar:

Posting Komentar